Revitalisasi Budaya Politik Partisipan Melalui Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP)


Revitalisasi Budaya Politik Partisipan  Melalui Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP) : Mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang Berorientasi Revolusi 4.0

Karya ini disusun sebagai syarat dalam salah satu tahapan open recruitment PERISAI UMI 2019


Disusun oleh:
Mardatillah Ardi
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
                     2018                         


Revitalisasi Budaya Politik Partisipan  Melalui Program
Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP) : Mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang Berorientasi Revolusi 4.0
Pemilihan umum (Pemilu) secara konseptual merupakan sarana implementasi kedaulatan rakyat. Melalui pemilu legitimasi kekuasaan rakyat diimplementasikan melalui “penyerahan” sebagian kekuasaan dan hak mereka kepada wakilnya yang ada di parlemen pemerintahan. Dengan mekanisme tersebut, sewaktu-waktu rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kekuasaan kepada pemerintah.[1] Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, definisi dari Pemilu ialah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota  Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kontestasi Pemilu sebagai wujud pelaksanaan hak politik masyarakat merupakan sebuah manifestasi negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang menganut ideologi demokrasi pancasila dengan jenis demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan (representative democration). Sebagai bagian dari hak, politik menjadi sebuah sarana mewujudkan hak masyarakat yang dimana hak tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai peraturan di Indonesia salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan hak politik setiap warga negara merupakan suatu mekanisme untuk menunjang kepentingan rakyat secara keseluruhan agar setiap penguasa yang terpilih melalui mekanisme Pemilu dapat menjadi representasi kepentingan rakyat pada umumnya di luar kepentingan pribadi dari penguasa tersebut.
Perkembangan politik di Indonesia tidak lepas dari peran setiap elemen di dalam masyarakat, seperti Pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri (Siswa maupun mahasiwa atau para akademisi). Politik dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan guna  menunjang kemajuan Indonesia dalam rana penggunaan media politik sebagai media pembangun bangsa dan negara, sehingga politik sudah seyogyanya diimplementasikan kepada masyarakat secara komprehensif baik melalui media pembelajaran formal maupun nonformal, dikarenakan politik merupakan kebutuhan mutlak setiap negara untuk mencapai suatu tujuan.
Seorang pakar yang bernama Hans Kelsen, mengemukakan bahwa politik memiliki dua arti penting, yaitu:[2]
  1. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna;
  2. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa politik pada hakikatnya sangat  erat kaitannya dengan budaya. Dalam hal klasifikasi tipe kebudayaan pada rana politik, terdapat beberapa tipe budaya politik yang secara universal diketahui yaitu antara lain:[3]
1.      Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kiai, atau dukun, yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis, maupun religious;
2.      Budaya politik kaula (subject political culture), yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju, baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif.
3.      Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung.
Fakta yang terjadi di Indonesia menurut data dari beberapa lembaga, seperti Lembaga Indikator Politik Indonesia memberikan uraian bahwa partisipasi politik daerah di Indonesia pada tahun 2018 tidak dapat dikatakan tinggi, hal ini dapat dilihat dari data yang ditemukan bahwa di Jawa Timur, partisipasi pemilih hanya ada di angka 62,23 persen dengan margin of error 1,33 persen. Demikian juga halnya di Jawa Barat (67,83 persen) dan Sumatera Utara (68,54 persen), dan Sulawesi Selatan (74,43 persen).[4] Lembaga lain dalam hal ini Lembaga Survei The Republic Institute yang melangsungkan quick count tahun 2018 mengemukakan bahwa target Komisi Pemilihan Umum belum tercapai dalam pemilihan 2018, hal yang menyebabkan adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat secara maksimal terkait politik.[5]  
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan sehingga partisipasi politik di Indonesia khususnya dalam masyarakat desa belum maksimal serta dikalangan siswa dan siswi,  yaitu:
1.    Faktor Minimnya Sosialisasi Tentang Politik Pada Masyarakat Desa
Masyarakat desa merupakan masyarakat yang tergolong memiliki kepekaan politik kurang disebabkan pengetahuan yang masih dangkal terkait politik serta pandangan yang senantiasa negatif pada kata politik menyebabkan kurangnya partisipasi aktif untuk mengikuti pemilihan umum.
2.    Faktor Skeptis Terhadap Politik
Skeptis secara definisi memiliki arti kurang percaya atau ragu-ragu. Keraguan dan kurang percaya kepada para politikus atau calon politikus karena banyaknya pelaku korupsi dikalangan politisi menyebabkan timbulnya pemikiran skeptis pada masyarakat mengenai politik. Pemikiran yang sudah tidak percaya pada politik inilah yang menjadi faktor penghambat terciptanya iklim politik yang sehat dalam  masyarakat Indonesia baik pada masyarakat desa maupun kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA/Sederajat). 
3.    Faktor Kepentingan Pragmatis dalam Politik
Kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi lebih dominan daripada kesadaran politik secara batiniah. Dalam hal ini ialah kepentingan terhadap keuntungan dari politiklah tujuan utamanya, dimana seorang pemilih akan lebih cenderung mengedepankan keuntungannya dalam pemilihan tersebut, sehingga pemilihan bukan lagi menjadi kesadaran hati nurani rakyat melainkan kepentingan pragmatislah yang menjadi orientasi masyarakat khususnya masyarakat desa. Keadaan tersebut menyebabkan hilangnya budaya politik yang sifatnya partisipasi aktif dan berdasarkan kesadaran.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa permasalahan utama yang memengaruhi kemajuan perpolitikan Indonesia adalah tingkat pemahaman politik masyarakat desa. Apabila pemahaman masyarakat terhadap politik rendah, maka akan berimbas pada kesadaran politik pelajar dalam hal ini siswa dan siswi SMA/Sederajat. Hal ini karena masyarakat desa merupakan masyarakat yang multikultural dan pusat peradaban di masa yang akan datang, ada banyak pelajar dari desa yang hidup berlandaskan pemikiran-pemikiran yang masih tradisional yakni memandang politik bukanlah hal yang baik dan meneganggap politik hanya tempat menghabiskan uang rakyat. Dengan demikian diperlukan suatu solusi untuk membendung terjadinya permasalahan tersebut secara terus menerus terjadi, salah satu solusinya adalah “Revitalisasi Budaya Politik Partisipan Melalui Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP) : Mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang Berorientasi Revolusi 4.0”.
Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP) ialah program yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat desa melalui pengadaan program Desa Peduli Politik. Hal ini guna mengembalikan marwah tipe budaya Politik Partisipan dalam jiwa masyarakat desa dalam menunjang hidupnya pemilihan yang cerdas dan berbudaya.
Selain itu, dalam Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik (PIDSP) terdapat beberapa hal yang menjadi prioritas pemerintah, yaitu
1.      Sosialisasi terkait politik  secara komprehensif pada masyarakat desa pra pemilihan umum;
2.      Memberdayakan masyarakat desa khususnya pemuda Islam dengan mengikutsertakan dalam agenda-agenda pemerintahan;
3.      Menjadikan desa sebagai pusat politik budaya partisipan;
4.      Memberdayakan dana desa 1 (satu) miliar untuk pembangunan kesadaran politik masyarakat desa;
5.      Mengadakan kegiatan praktik pemilihan semu sebagai agenda pra pemilihan umum.
Melalui Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik diharapkan marwa budaya politik partisipan dapat tumbuh secara mendalam pada jiwa masyarakat desa guna menunjang pembangunan demokrasi cerdas dalam masyarakat yang tergolong terpencil. Selain itu Program Pemuda Islam Desa Sadar Politik juga diharapkan mampu memaksimalkan penggunaan dana desa 1 (satu) miliar untuk kemanfaatan masyarakat desa yang lebih mengedepankan kepentingan umum dan terhindar dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).




DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Fajlurrahman Jurdi. 2018. Pengantar Hukum Pemilihan Umum. Kencana. Jakarta.
JURNAL:
Khoirul Saleh dan Achmat Munif. “Membangun Karakter Budaya Politik Dalam Berdmokrasi”, Addin. Vol. 9 No. 2. Agustus 2015.
INTERNET:

Zakky. 2018. Pengertian Politik Menurut Para Ahli dan Secara Umum. Sumber: https://www.zonareferensi.com/pengertian-politik/. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018. Pukul 18.29 Wita.

Ilham Saputra. 2018. Angka Golput di Pilkada Serentak 2018 Masih Tinggi. Sumber: https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/28/06/2018/angka-golput-di-pilkada-serentak-2018-masih-tinggi. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018. Pukul 13.15 Wita.






[1] Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, Kencana, Jakarta, 2018, hlm.1.
[2] Zakky, 2018, Pengertian Politik Menurut Para Ahli dan Secara Umum, Sumber: https://www.zonareferensi.com/pengertian-politik/, Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018, Pukul 18.29 Wita.
[3] Khoirul Saleh dan Achmat Munif, “Membangun Karakter Budaya Politik Dalam Berdmokrasi”, Addin, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015, hlm. 315-316.
[4] Ilham Saputra, 2018, Angka Golput di Pilkada Serentak 2018 Masih Tinggi, Sumber: https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/28/06/2018/angka-golput-di-pilkada-serentak-2018-masih-tinggi, Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018, Pukul 13.15 Wita.
[5] Ibid.

No comments